Minggu, 22 Maret 2009
Obat Palsu 25% Beredar di Indonesia
SEMAKIN canggih teknologi di dunia kesehatan, semakin canggih pula cara orang memalsukan obat. Selain berbahaya bagi kesehatan, obat palsu juga mengakibatkan kematian.
Siapa pun pasti akan sedih bercampur kesal jika memiliki penyakit yang tidak sembuh walaupun pengobatan intensif telah dilakukan. Kekesalan itu tentu saja akan melanda semua anggota keluarga. Apalagi setelah mengonsumsi obat yang dianjurkan dokter, kesehatan si pasien semakin memburuk. Apa yang salah dari kasus seperti ini?
Kesehatan si pasien semakin memburuk biasanya disebabkan banyak faktor. Salah satunya akibat mengonsumsi obat palsu. Mengonsumsi obat palsu sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat menyebabkan penyakit yang diderita semakin memburuk, bahkan kematian.
Menurut World Health Organization (WHO), 10 persen obat yang beredar di seluruh dunia adalah obat palsu. Bahkan, laporan terakhir yang dirilis United Stated Trade Representative (USTR) mengatakan 25 persen obat yang beredar di Indonesia adalah palsu. Keberadaan pasar gelap yang menjual obat-obat palsu, semakin memperparah situasi kesehatan masyarakat.
Berangkat dari keprihatinan terhadap maraknya peredaran obat-obat palsu di tengah masyarakat, International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG) meluncurkan sebuah website www.stopobatpalsu.com di Hotel Atlet Century Park, baru-baru ini.
Acara yang dihadiri Ketua IPMG Thierry Powis, Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Drs Weddy Mallyan dan Komite Kebijakan Obat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Erni Purwani, terungkap bahwa obat palsu yang beredar di masyarakat telah sangat meresahkan dan sangat merugikan kesehatan masyarakat yang membelinya.
"Obat palsu memperburuk kondisi pasien dan mengakibatkan kematian. Sayangnya, masyarakat masih tetap percaya bahwa khasiat obat palsu sebanding dengan obat asli. Bahkan, dengan membeli obat palsu dianggap lebih menghemat keuangan keluarga," kata Ketua IPMG Thierry Powis dalam sambutannya.
Thierry menuturkan, yang disesalkan lagi adanya beberapa anggapan yang keliru tentang obat palsu. Misalnya, ada anggapan kalau obat palsu itu lebih murah dibandingkan obat asli sehingga lebih hemat. "Banyak sekali kekeliruan seperti itu terjadi. Padahal obat palsu dijual dengan harga yang sama dengan obat asli. Keliru pula mengatakan kalau obat yang murah tidak dipalsukan. Obat impor saja sangat banyak yang palsu, dan Indonesia adalah salah satu pasar terbesarnya," tutur Thierry.
Tercatat, menurut WHO, definisi obat palsu adalah obat yang diproduksi pihak yang tidak memiliki otoritas di bawah aturan undang-undang yang berlaku, atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar.
Senada dengan Thierry, Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Drs Weddy Mallyan mengaku obat palsu sebagian besar diproduksi dan didistribusikan di jalur ilegal dan masyarakat masih sangat sulit membedakan obat palsu dengan yang asli. "Itu karena bentuk obat, baik secara kasatmata sama persis. Kecuali dideteksi menggunakan alat khusus bernama Rapid Test Detector atau dengan melakukan penelitian di laboratorium," kata Weddy.
Weddy menyebutkan, 10 hingga 20 tahun lalu, obat palsu tidak mengandung zat aktif. Namun saat ini, obat palsu telah mengandung berbagai zat aktif yang tidak sesuai dengan persyaratan maupun dosis yang telah ditentukan dokter.
"Bahkan, tren pemalsuan obat semakin marak. Salah satu yang paling besar dan masih sangat mudah ditemukan adalah adanya pemalsuan obat-obat DE (disfungsi ereksi) dan lifestyle drug," katanya.
Yang harus dilakukan sekarang, menurut Weddy, adalah memutus mata rantai suplai maupun peredaran obat palsu, mengawasi sarana produksi, distribusi, dan pelayanan obat, pemeriksaan setempat, mengambil sampel obat di peredaran, pengujian laboratorium dan peningkatan kapasitas kemampuan petugas untuk mendeteksi obat palsu. "Kasus obat palsu tidak saja menjadi momok menakutkan di Indonesia, juga di seluruh dunia mengalaminya," tutur Weddy.
(sindo//tty)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
The development of counterfeit drug cases in Indonesia from year to year showed no significant increase or decrease in terms of quantity . However, if viewed from spreading , showed an increase.
suksestoto
Posting Komentar